1/30/2008

27 Januari

27 Januari 2008 lalu,usiaku berkurang setahun. Sudah 33 tahun sekarang. Tak terasa, terasa aku sudah tua. He he he. Seperti kebiasaan kami, Ulangtahun tak diperingati. Pagi-pagi istri dan anak-anak mengucapkan selamat. Lalu ada telepon dari Ayah dan Umak. Sudah. Itu saja. Kami memang tak kenal bagaimana memperingati ulang tahun.


Semua sama saja. Menuruku ini adalah wajar saja. Sama dengan kebiasaan sebagian orang yang pakai cincin kawin, di daerah kami kebiasaan itu juga tidak wajib.


Tak menyangka, 27 Januari tiba-tiba menjadi sangat ramai karena Soeharto meninggal dunia. Kami yang kerja di media, sudah 3 minggu berjaga-jaga. Sampai ada yang sakit dan bosan menunggu. Ada yang standby di RSPP, lalu ada yang berjaga di Cendana. Dua minggu terakhir ada pula yang berjaga-jaga di Astana Giribangun dan di Kalitan Solo. Luar Biasa…


Lebih luar biasanya lagi, semua TV langsung breaking news. Dan aku malah menonton dari rumah. Pas lagi libur. Seperti direncanakan saja, aku menikmati ultah pas libur dan pas kawan-kawan di kantor heboh luar biasa karena ada breaking news. Rasanya dunia ini luas dan menyenangkan sekali. Ha ha ha…


Jadi, buat tahun ke depan, ulangtahunku akan diperingati berbarengan dengan ulangtahun wafatnya Soeharto.

Semua media memberi perhatian luar biasa. Wajar karena melihat ketokohan Soeharto. Namun gak imbang karena semua TV dan media lebih banyak mengekspos pernyataan agar semua warga memberi maaf pada dia. Apa bisa? TV gak mewawancara para korban kekerasan Orde Baru. Masyarakat kita memang bangsa yang pemaaf dan pelupa.


Artis berlomba-lomba datang ke Cendana memberi duka cita. Lalu wawancara dengan infotainment. Padahal waktu hangat-hangatnya isu Anti KKN, mereka juga ikut turun ke jalan. Di negara ini memang serba bermukadua.


Aku masih mahasiswa saat Reformasi tahun 1998. Kami ikut turun ke jalan sampai Soeharto jatuh. Sebuah peristiwa yang luar biasa melihat mahasiswa sekompak itu. Apakah masih akan terulang lagi?


Bagi kami Soeharto adalah sosok negarawan yang tegas dan pintar. Sayangnya kroni dan keluarganya terlalu rakus hingga harus mengorbankan Soeharto. Semua itu memang harus ada yang mempertanggungjawabkan. Makanya lucu saja kalau banyak sekali orang di negeri ini yang minta semua memaafkan Soeharto.


Soeharto memang sosok luar biasa. Di kampung-kampung dan pasar-pasar, semua mengatakan zaman Soeharto lebih baik. Beras murah, semua aman, tak ada antri minyak. Hidup tenang. Berbeda dengan sekarang. Semua harga mahal. Senyumnya sangat khas kalau sedang berkunjung ke daerah. Ribuan orang berbaris di tepi jalan untuk melihatnya. Semua bangga bisa salaman darinya. Bagaimanapun, dia memang negawaran sejati. Yang membuat Indonesia kita saat itu disegani dunia.


Tabloid Bola menggambarkan wafatnya Soeharto dengan prestasi olahraga. Prestasi langsung menukik tajam saat Soeharto turun. Sekarang, saat warga sulit membeli beras dan tempe, petinggi kita malah sibuk minta naik gaji, minta fasilitas dan berbagai macam kasus korupsi.


Kita tentu rindu suasana dulu. Namun tentu bukan soal korupsinya. Cukup pada kondisi kesejahteraan warga saat itu. Dan tentu rindu melihat bangsa ini kembali disegani, baik politik maupun olahraga….


27 Januari, selain tanggal kelahiranku, juga punya catatan peristiwa-peristiwa penting, diantaranya:


Peristiwa

Kelahiran

Meninggal

Hari besar dan peringatan

1/26/2008

Main MP Makin Asyik nih, bisa langsung update Blogspot

Lama gak update MP karena komp kantor gak bisa buka. Ternyata perkembangan MP udah hebat sekale... Kemarin aku nyoba fasilitas import blog dari Blogspot ke MP. Wah, makin asyik aja. Gak perlu dua kali kerja kalau kita punya MP dan Blogger.

Tadinya aku kirain bisanya cuma sebatas import dari Blogspot ke MP saja. Ternyata setelah utak-atik, sekarang sudah bisa otomatis. Kita update MP langsung ada di Blogger ...


"Dua Indonesia"

"Dua Indonesia"

KOMPAS, Sabtu, 26 januari 2008 | 02:49 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Idealnya jangan ada yang putus asa. Sayangnya, banyak yang merasa hidup makin susah.

Dunia menghadapi ancaman resesi global dan melangitnya harga minyak dunia. Stok bahan pokok suka menghilang dan harganya sudah naik semua.

Kondisi politik mulai ”suam- suam kuku” karena persiapan 2009 yang akan diramaikan pesta kaus, bahan pokok, dan rupiah. Masih akan berlangsung lebih dari 100 pilkada yang bukan tak mungkin menimbulkan huru-hara.

Korupsi masih merajalela dan pemberantasannya tetap begitu-begitu saja. Penyidikan, pemberitaan, dan jalan ceritanya masih naik-turun seperti ingus di hidung anak balita Anda.

Jangan lupa, negeri yang suka memegang rekor dunia korupsi terbesar ini sebentar lagi menjadi tuan rumah konferensi antikorupsi internasional di Pulau Dewata. Ha-ha-ha....

Tak pelak lagi, saat ini yang menjadi lingua franca adalah si rupiah. Pejabat, tokoh, dan parpol sedang rajin-rajinnya mengumpulkan rupiah sebanyak-banyaknya.

DPR dan KPU meminta tambahan tunjangan yang mengada-ada. Bintang-bintang sinetron berwajah ganteng saja rela banting setir menjadi politisi supaya enggak jauh-jauh dari kuasa dan rupiah.

Nah, Anda yang berusia separuh abad pasti ingat zaman antrean minyak tanah di rumah ketua RT atau kantor lurah. Setelah 60 tahun kok antrean rakyat masih saja ada?

Di Bundaran HI (Hotel Indonesia) ada kampanye ”Visit Indonesia Year 2008” yang terpampang di billboard raksasa. Ada wajah-wajah Menbudpar Jero Wacik, Gubernur DKI Fauzi Bowo, dan juga presiden serta wapres kita.

Jika billboard itu terpasang di Times Square (New York), Piccadilly (London), atau Ginza (Tokyo) untuk menjaring turis, itu oke-oke saja. Tetapi, kebanyakan orang yang lewat Bundaran HI toh kita-kita juga.

Gambar gadis penari pendet, pantai Pulau Nias, atau ikan- ikan di Bunaken pasti lebih memesona. Lagi pula turis bule enggak nyandak slogan ”Celebrating 100 Years of Nation’s Awakening” alias Perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang amat bersejarah.

Malaysia, Singapura, dan Thailand dikunjungi rata-rata lebih dari 15 juta turis asing per tahunnya. Target Depbudpar tahun 2008 tak sampai 7 juta turis dari mancanegara.

Oh ya, semua sempat menjadikan berita sakitnya Pak Harto sebagai tontonan belaka. Inilah sirkus yang diembel-embeli pula dengan penampilan badut-badut yang kayak kurang kerjaan aja.

Lemhannas pada akhir 1970-an mau memvonis Bung Karno yang sedang sakit keras: ia pahlawan atau pengkhianat bangsa? Dan 60 tahun kemudian Pak Harto juga mengalami hal serupa.

Bung Karno terkenal dengan slogan ”Jas Merah”. Itu singkatan ”Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Foto utama harian ini beberapa hari lalu menampilkan koboi sedang mencabut senjata dalam pertandingan sepak bola. Itulah cerminan dari kondisi bangsa ini yang bagai penderita gangguan jiwa.

Bayangkan saja, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid memimpin rapat dari balik penjara. Pemain- pemain asing pun meniru ulah pemain-pemain lokal yang suka bergaya seperti karateka.

Nah, dalam situasi tak menentu ini pemimpin mestinya tampil di depan kita. Namun, yang terjadi justru sebaliknya karena mereka ibarat ”ada namun tiada”.

Rakyat sih merasa enggak apa-apa karena toh sudah terlalu lama kecewa. Rakyat sudah sering bilang kepada pemimpin, ”Kita hidup sendiri-sendiri saja ya?”

Apa lacur, mau hidup berpisah pun sudah susah. Pemimpin tiap hari kerjanya hanya mengganggu hidup rakyat saja.

Saking gemasnya, rakyat bertanya, ”Gimana kalau kita tukar tempat saja?” Eh, ia malah buang muka.

Pemimpin memang manja. Sudah dapat gaji, rumah, mobil, patwal, bahkan ajudan yang membawakan tas ke mana-mana, tetapi masih mengeluh kurang tidur, enggak sempat ngopi, suka dizalimi, dan gampang bertelinga merah. Ih, kayak pemain sinetron saja!

Inilah bukti tentang kisah ”Dua Indonesia” yang berbeda. Ada Indonesia versi pemimpin yang hidup di awang-awang, ada versi rakyat yang terlalu nyata.

Rakyat butuh kedelai, bukan keledai yang masih saudaranya kuda. Rakyat ingin punya istana, pemimpin tak berhenti main kayak anak balita di Istana Mainan Hoya.

Rakyat rindu prestasi sepak bola untuk mengharumkan nama bangsa di mancanegara. Pemimpin rindu piknik ke mancanegara beli parfum untuk mengharumkan badan mereka.

Itulah kisah tentang ”Dua Indonesia”. Pemimpin telah menarik garis yang berseberangan dan nekat bertentangan dengan rakyatnya.

Padahal, dua adalah angka genap yang—tak seperti angka ganjil—enak dilihat, diucapkan, dan penuh berkah. Mana ada orang pacaran atau kawin bertiga?

Padahal, dua angka kodrati bagi kehidupan alam dan manusia. Lubang hidung, mata, telinga, tangan, dan kaki, jumlahnya pasti bukan lima.

Dan selalu ada kanan dan kiri, atas dan bawah. Manusia lahir dan mati, lalu masuk surga atau neraka.

Bendera kita dwiwarna, proklamator kita Soekarno-Hatta. Tak ada gunanya rakyat dan pemimpin terpisah kayak durian terbelah dua.

Rakyat ingin pemimpin yang mau menyingsingkan lengan bajunya. Rakyat butuh pemimpin yang berbicara apa adanya.

Waktu tinggal sedikit, terlalu banyak tabungan yang terbuang begitu saja. Jangan tunggu rakyat putus asa, lalu marah.

1/03/2008

Mandailing...

Mandailing

From Wikipedia, the free encyclopedia

Jump to: navigation, search

The Mandailing is a traditional cultural group in Southeast Asia. They are found mainly in the northern section of the island of Sumatra in Indonesia. There are also significant groups of Mandailing in Malaysia, especially in the states of Selangor and Perak. The Mandailings in Indonesia are often considered to be part of the Batak people, but are often also considered to be a separate group. They came under the influence of the Kaum paderi who ruled the Minangkabau of Tanah Datar. As a result, the Mandailing were influenced by Muslim culture and converted to Islam. Previous to their conversion, they practised Hinduism and Parmalim (Batak native religion). The etymology of 'Mandailing' is said to be a coupounding of the words manda, meaning 'mother', and ilang, meaning 'lost'. Thus, the name is said to mean 'lost mother'. Some research has suggested that the Mandailing are the descendants of the Toba Batak, who migrated to the south centuries before the coming of the Portuguese and Dutch colonisation of Sumatra. There they converted to Islam and intermarried with Minangkabau and the Malay peoples. Mandailing society is patriarchal, employing family names, or marga, in the same manner as the Toba Batak. The same marga can be found, such as Lubis, Nasution, Siregar, Hasibuan, Harahap, Dalimunthe (originally from Munthe), Matondang, Rangkuti, Parinduri, Pulungan, Rambe, Daulae(y), Pohan, Batubara (not to be confused with the Batu Bara people from the east coast of Sumatra), Barus and Hutajulu. They are closely related to the Angkola, who are also Muslim.

'Mandailing' is the name of region (Luat Mandailing) which is now almost in Mandailing Natal Regency in North Sumatra Province. The first group who came to this region were the Lubis, later followed by the Siregar, Harahap and so forth. These groups migrated from the northern region, which now belongs to North Tapanuli Regency and Tobasa Regency. One of these groups, the Harahap, left, which makes their identification to the region difficult. Matondang, Rangkuti and Parinduri are the local groupss of Luat Mandailing. Harahap and Siregar dwell almost in Luat Angkola, which now belongs to South Tapanuli Regency, situated between Mandailing-Natal Regency and North Tapanuli Regency.

[edit] External links

Sumatra, This is Gold Island in Indonesia


Sumatra (also spelled Sumatera) is the sixth largest island in the world (approximately 470,000 km²) and is the largest island entirely in Indonesia (two larger islands, Borneo and New Guinea, are partially in Indonesia).

Etymology

An ancient name for Sumatra was Swarna Dwipa, (Sanskrit for Isle of Gold), apparently based on the fact that mines in the Sumatran highlands were exporting gold from fairly early times.[citation needed] Arab geographers referred to the island as Lamri (Lamuri, Lambri or Ramni) in the 10-13th centuries, in reference to a kingdom near modern day Banda Aceh which was the first landfall for traders. Late in the 14th century the name Sumatra became popular, in reference to the kingdom of Samudra which was a rising power. European writers in the 19th century found that the indigenous inhabitants did not have a name for the island.

History

People who spoke Austronesian languages first arrived in Sumatra around 500 BCE, as part of the Austronesian expansion from Taiwan to Southeast Asia. With its location in the India-China sea trade route, several trading towns flourished, especially in the eastern coast, and were influenced by Indian religions. One of the earliest known kingdoms was Kantoli, which flourished in the 5th century AD in southern Sumatra. Kantoli was replaced by the Empire of Srivijaya and then later by the Kingdom of Samudra. Srivijaya was a Buddhist monarchy centered in what is now Palembang. Dominating the region through trade and conquest throughout the 7th to 9th centuries, the Empire helped spread the Malay culture throughout Sumatra, Malay Peninsula, and western Borneo. The empire was a thalassocracy, or maritime power that extended its influence from island to island.

Srivijayan influence waned in the 11th century after it was defeated by the Chola Empire of southern India. Sumatra was then subject to conquests from Javanese kingdoms, first Singhasari and subsequently Majapahit. At the same time Islam made its way to Sumatra, spreading through contacts with Arabs and Indian traders.

By the late 13th century, the monarch of the Samudra kingdom (now in Aceh) had converted to Islam. Ibn Battuta, who visited the kingdom during his journey, pronounced the kingdom's name as "Sumatra", hence the name of the island. Samudra was succeeded by the powerful Aceh Sultanate, which survived to the 20th century. With the coming of the Dutch, the many Sumatran princely states gradually fell under their control. Aceh, in the north, was the major obstacle, as the Dutch were involved in the long and costly Aceh War (1870-1905).

On December 26, 2004, the western coast and islands of Sumatra, particularly Aceh province, were devastated by a nearly 15 meter high tsunami following the 9.2-magnitude Indian Ocean earthquake. The death toll surpassed 170,000 in Indonesia alone, primarily in Aceh.

In 2005 there was an 8.7 magnitude aftershock of the previous earthquake in December 2004. See 2005 Sumatran Earthquake. In addition to the subduction megathrust earthquake off the west coast, Sunda arc, the Great Sumatran Fault, a transform fault, runs the entire length of the island. The pressure on this fault increased dramatically after the December 2004 earthquake, and seismologists are afraid an earthquake is going to occur soon. The fault ends directly below the devastated city of Banda Aceh.

Administration

The administrative regions of Sumatra (or the smaller islands nearby) are:


Geography

Map of geological formation of Sumatra island.
Map of geological formation of Sumatra island.

The longest axis of the island runs approximately 1,790 km (1,100 miles) northwest - southeast, crossing the equator near the center. At its widest point the island spans 435 km (270 miles). The interior of the island is dominated by two geographical regions: the Barisan Mountains in the west and swampy plains in the east.

To the southeast is Java, separated by the Sunda Strait. To the north is the Malay Peninsula, separated by the Straits of Malacca. To the east is Borneo, across the Karimata Strait. West of the island is the Indian Ocean.

The backbone of the island is the Barisan mountains chain, with the active volcano Mount Kerinci's 3,805 m (12,467 ft) the highest point, located at about the midpoint of the range. The volcanic activity of this region endowed the region with fertile land and beautiful sceneries, for instance around the Lake Toba. It also contains deposits of coal and gold.

To the east, big rivers carry silt from the mountain, forming the vast lowland interspersed by swamps. Even if mostly unsuitable for farming, the area is currently of great economic importance for Indonesia. It produces oil from both above and below the soil—palm oil and petroleum.

Most of Sumatra used to be covered by tropical rainforest, but economic development coupled with corruption and illegal logging has severely threatened its existence. Conservation areas have not been spared from destruction, either.

The island is the world's 5th highest island, although only the third highest in the Indonesian archipelago.

See also: Islands of Indonesia and Riau islands

Flora and fauna

The island is home to a host of species including: Sumatran Pine, Rafflesia arnoldii (world's largest individual flower), Titan arum (world's tallest and largest inflorescence flower), Sumatran Tiger, Sumatran Orangutan, Sumatran Rhinoceros, Sumatran Elephant, Sumatran Striped Rabbit, Malayan Tapir, Malayan Sun Bear, Bornean Clouded Leopard, and many birds and butterflies.

The major threats to Sumatran forest are the pulp and paper industry and expansion of palm oil plantations.

The island includes more than 10 National Parks, including 3 which are listed as the Tropical Rainforest Heritage of Sumatra World Heritage SiteGunung Leuser National Park, Kerinci Seblat National Park and Bukit Barisan Selatan National Park.

See also: List of national parks of Indonesia

Demographics

Sumatra is not very densely populated, about 96 people per km²—more than 45 million people in total. It is nonetheless the fourth most populous island in the world. The most populous regions include most of North Sumatra and central highlands in West Sumatra, while the major urban centers are Medan and Palembang.

The people composed of many different ethnic groups, speaking 52 different languages. Most of these groups, however, share many similar traditions and the different tongues are closely related. Malay-speaking people dominate the eastern coast, while people in the southern and central interior speak languages related to Malay, such as the Lampung and Minangkabau people. The highland of northern Sumatra is inhabited by the Bataks, while the northernmost coast is dominated by Acehs. Ethnic Chinese minorities are also present in urban centers.

A majority of people in Sumatra are Muslims (90%). Most central Bataks, meanwhile, are Protestant Christians—a religion introduced by the Dutch. The rest follow Hinduism, Buddhism, Catholicism, and Chinese traditional belief

(From Wikipedia, the free encyclopedia)